Oleh Fauzi Abubakar
SIAPA pun yang terjun
dalam bidang politik pasti memiliki kepentingan kekuasaan. Kekuasaan di
mata Islam bukanlah barang terlarang, sebaliknya kekuasaan dan politik
dianjurkan selama tujuannya untuk menjalankan visi-misi kekhalifahan.
Untuk itu kekuasaan harus didapatkan dengan tetap berpegang pada etika
Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam telah memberikan panduan etika
dalam kehidupan manusia. Karena itu etika dalam politik menjadi suatu
keharusan.
Fakta memperlihatkan bahwa tidak sedikit yang
menghalalkan segala cara dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Bertemunya berbagai kepentingan antarkelompok dalam kalangan elite
politik adalah sebuah keniscayaan akan terjadinya konflik bahkan
berujung pada penyelesaian dengan jalan kekerasan, jika tidak ada
kesepahaman bersama.
Etika politik adalah sesuatu yang sangat
penting dalam Islam, karena politik dipandang sebagai bagian dari
ibadah, maka politik harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah.
Di samping itu, politik berkenaan dengan prinsip Islam dalam
pengelolaan masyarakat, karena itu prinsip-prinsip hubungan antarmanusia
seperti saling menghargai hak orang lain dan tidak memaksakan kehendak
harus berlaku dalam dunia politik.
Mestinya ketika membahas
tentang etika politik saat ini tidak dipandang seperti berteriak di
padang pasir yang tandus dan kering. Sementara realitas politik itu
sebenarnya pertarungan antara kekuatan dan kepentingan yang tidak ada
kaitan dengan etika. Politik dibangun bukan dari yang ideal dan tidak
tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum
adalah tujuan menghalalkan segala cara seperti yang diajarkan oleh
Machiavelli. Sementara Immanuel Kant menyebutkan bahwa ada dua watak
yang terselip di setiap insan politik, yaitu watak merpati dan watak
ular.
Pada satu sisi insan politik memiliki watak merpati yaitu
memiliki sikap lemah lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan
idealisme, tetapi di sisi lain juga memiliki watak ular yang licik dan
selalu berupaya untuk memangsa merpati. Jika watak ular yang lebih
menonjol daripada watak merpati, inilah yang merusak pengertian politik
itu sendiri yang menurut filosof Aristoteles bahwa politik itu sendiri
bertujuan mulia. Untuk itulah pentingnya etika politik sebagai
alternatif untuk mewujudkan perilaku politik yang santun.
Pemikiran
Aristoteles sejalan dengan konteks pemikiran Islam, al-Ghazali yang
tidak memisahkan antara etika dan politik, keduanya saudara kembar yang
tidak mungkin dipisahkan. Keduanya akan menentukan nilai baik-buruk atau
benar-salah dari setiap tindakan dan keinginan masyarakat. Maka politik
sebagai otoritas kekuasaan untuk mengatur masyarakat agar sesuai dengan
aturan-aturan moral, bertanggung jawab, dan mengerti akan hak serta
kewajibannya dalam hubungan kemasyarakatan secara keseluruhan.
Di
sini terlihat Islam sebagai way of life (pandangan hidup) yang baik dan
memiliki moral code atau rule of conduct dalam melayani rakyat. Islam
datang dengan resource yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan yaitu
Alquran sebagai sumber utama dan dipertegaskan dengan Sunnah Nabi.
Alquran sebagai dasar bagi manusia kepada hal-hal yang dilakukan
memberikan tekanan-tekanan atas amal perbuatan manusia (human action)
dari pada gagasan. Artinya Alquran memperlakukan kehidupan manusia
sebagai keseluruhan aspek yang organik, semua bagian harus dibimbing
dengan petunjuk dan perintah-perintah etik yang bersumber dari wahyu,
yang mengajarkan konsep kesatuan yang padu dan logis.
Dalam etika
politik yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari masyarakat karena menyangkut tindakan
kolektif. Maka hubungan antara pandangan seseorang (etika individual)
dengan tindakan kolektif membutuhkan perantara yang berfungsi
menjembatani kedua pandangan ini berupa nilai-nilai. Melalui nilai-nilai
inilah politikus berusaha meyakinkan masyarakat agar menerima
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Karena itu,
politik disebut juga seni meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan
manipulasi dan kekerasan.
Nilai-nilai kebenaran
Etika politik merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan tangung jawab atas realitas kehidupan. Untuk itu realitas politik diupayakan dengan mengkonsepkan dan mengelaborasikan secara mendalam fenomena terhadap pandangan Alquran tentang etika dalam pelayanan rakyat.
Etika politik merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan tangung jawab atas realitas kehidupan. Untuk itu realitas politik diupayakan dengan mengkonsepkan dan mengelaborasikan secara mendalam fenomena terhadap pandangan Alquran tentang etika dalam pelayanan rakyat.
Islam menetapkan nilai-nilai dasar dalam
kehidupan politik, yaitu: Pertama, prinsip musyawarah (syura), dalam
Islam tidak hanya dinilai prosedur pengambilan keputusan yang
direkomendasikan, tetapi juga merupakan tugas keagamaan. Seperti yang
telah dilakukan oleh Nabi dan diteruskan oleh khulafaur rasyidin. Firman
Allah Swt: “..dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...”
(QS. Ali Imran: 159)
Kedua, prinsip persamaan (musawah), dalam
Islam tidak mengenal adanya perlakuan diskriminatif atas dasar perbedaan
suku bangsa, harta kekayaan, status sosial dan atribut keduniaan
lainnya. Yang menjadikannya berbeda di mata Allah hanya kualitas
ketakwaan seseorang sebagaimana firmanNya: “...Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al-Hujarat: 13).
Ketiga, prinsip keadilan
(‘adalah), menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam,
terutama bagi para penguasa. Islam juga memerintahkan untuk menjadi
manusia yang lurus, bertanggung jawab dan bertindak sesuai dengan
kontrol sosialnya sehingga terwujud keharmonisan dan keadilan hidup,
sebagaimana firman Allah Swt: “...Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8).
Keempat, prinsip kebebasan
(al-Hurriyah), dalam Islam prinsip kebebasan pada dasarnya adalah
sebagai tanggung jawab terakhir manusia. Konsep kebebasan harus
dipandang sebagai tahapan pertama tindakan ke arah perilaku yang diatur
secara rasional berdasarkan kebutuhan nyata manusia, baik secara
material maupun secara spiritual. Kebebasan yang dipelihara oleh politik
Islam adalah kebebasan yang mengarah kepada ma’ruf dan kebaikan. Allah
berfirman: “... Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain...” (QS. Al-An’am: 164).
Politik
merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat berupa
pedoman, keyakinan hukum atau aktifitas dan informasi. Prinsip-prinsip
Islam dalam politik tersebut menentang pandangan politik menghalalkan
segala cara. Pelaksanaan prinsip Islam dalam politik berlaku menyeluruh
dalam sistem pemerintahan, karena sistem itu menjadi bagian yang
integral dalam Islam.
* Drs. Fauzi Abubakar, M.Kom.I, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah, Lhokseumawe. Email: marhamah_rusdy@yahoo.com
Sumber : tribunnews.com